"Saya masih single," jawab Shary ketika ditanya siapakah dirinya.
Hari ini perkenalan teman baru di grup persekutuan doa. Shary yang ditanya tentang dirinya, tersipu malu. Bukan hanya di persekutuan, di tempat pertemuan lain pun sama. Semua orang merasa kepo ketika ada anggota grup yang baru. Hanya mau kenal lebih dekat, begitu alasan yang diucapkan ketika semua orang meminta izin untuk mengorek pribadi orang yang belum mereka kenal.Bukan hanya Shary, masih banyak perempuan lain di luar sana, yang tidak mau dikorek personal dirinya. Rasanya ditelanjangi saja, kadang pikiran Shary timbul perasaan negatif ketika bertemu orang baru. Shary yang masih umur tigapuluhan, masih belum terpikirkan untuk mencari jodohnya secepat itu.
Lain lagi ceritanya Shinta yang sudah berumur empatpuluh. Sudah bertanya-tanya bagaimana mencari jodohnya. Rasanya di umur sekarang sudah tidak ada lagi rasa malu. Sepertinya sudah menjadi kebutuhan hidup yang harus cepat tersedia sekarang, karena umur yang sudah tidak muda lagi, dan memasuki masa rawan untuk kehamilan pertamanya.
Melihat dan mendengar cerita seperti Shary dan Shinta, saya sebagai teman perempuan rasanya ingin membantu secepatnya, tetapi sampai sekarang belum satupun yang dapat saya jodohkan. Saya sudah berusaha. Mulai bertanya dari teman satu grup, juga teman yang lain. Padahal saya sangat senang menjodohkan mereka. Saya bukan profesional, tetapi saya hanya ingin membantu tanpa mendapatkan imbalan.
Pernah saya bertemu dengan dua orang kakak adik, Saya sebut saja Dina dan adiknya Tina, yang sama-sama belum mempunyai jodoh. Entahlah apa ini sudah menjadi standar, kalau orang yang belum menikah itu judes semua, khususnya para perempuan. Yang adiknya memang bekerja di perusahaan yang terkenal sebagai kepala bagian, dan kakaknya juga sebagai orang yang dipercaya di suatu perusahaan yang mengurus tumbu-tumbuhan di departeman pertanian. Pokoknya semua mendapatkan jabatan yang baik.
Seiring berjalannya waktu, Dina tinggal di Jakarta mengikuti kakak perempuan lainnya, saya sebut Eka. Eka yang sudah menikah dengan Abidin tinggal di apartemen yang sederhana. Dua anak mereka sudah besar dan sudah bekerja. Kedua anak Eka tidak tinggal bersama mereka. Sehingga Dina bisa tinggal dengan Eka.
Sebetulnya kalau di adat istiadat yang ada, seorang perempuan dianjurkan untuk tinggal dengan saudara laki-lakinya. Jadi masih satu darah, Sedangkan seorang laki-laki tinggal dengan saudara perempuannya. Semua dimaksudkan supaya tidak terjadi hal-hal yang kurang baik.
Benar saja ... terjadi hal-hal yang tidak terduga. Dina yang sudah lama sendirian ternyata mengganggu pernikahan Eka. Saya juga tidak tahu siapa yang memulai. Abidin atau Dina. Rasanya perih buat Eka tetapi kok yang saya lihat mereka akur saja. Seperti biasa saja, tidak ada masalah apapun. Saya yang melihat sedikit jijik juga, kok mereka seperti itu.
Itu cerita tentang Dina, adiknya, Tina masih lebih baik, cuma memang mulutnya sedikit usil. Tina sudah terkenal di kalangan saudaranya. Kalau bertemu dengan saya, dia baik kok! Mengapa saudaranya bilang dia judes ya? Orang dalam memang lebih mengerti, iya enggak?
Sekarang mereka berdua sudah masuk umur 60 an dan masih single. Setelah menghacurkan rumah tangga Eka, Dina kembali ke rumah almarhum orang tuanya.
Masalah yang ada mereka tinggal di rumah keluarga yang menjadi perebutan warisan keluarga. Mereka menganggap rumah keluarga itu milik mereka. Dan tidak peduli dengan keponakan mereka. Padahal dengan umur sekarang, mereka bisa berkeliling dunia menikmati uang hasil penjualan rumah warisan, yang sudah dibagi-bagikan dengan saudara yang lain.
Tetapi tidak mereka lakukan. Masih menunggu, menjaga rumah warisan, entahlah apa yang mereka pikirkan. Padahal mereka berpacu dengan waktu ya!
Itu cerita tentang kakak dan adik yang masih sendiri. Cerita ini tentang Mirna, yang ditinggal suaminya ketika berumur 40 tahunan. Dengan dua anak yang sekarang beranjak dewasa, tetapi tidak dengan Mirna. Dia masih menganggap dia itu anak remaja yang masih puber. Tanpa perduli dengan anak-anaknya setelah ditinggal suaminya, Mirna bisa mengambil keputusan untuk menikah lagi. Alasannya sih, calon suaminya mau dengan dirinya yang sudah janda, dan mempunyai anak remaja.
Menikah tanpa restu ketiga saudaranya yang lain. Karena di mata mereka, calon ipar, yang bernama Denden, hanya mau memporoti uangnya Mirna saja. Mirna seorang guru yang mengajar di sebuah sekolah internasional, dengan gaji yang lumayan. Sedangkan calon suaminya hanya mendapat pemasukan dari bengkelnya.
Yah ... namanya cinta, semua buta. Tidak perduli dengan kedua anaknya, yang masih memerlukan kehadirannya. Mirna seperti lepas kendali saja. Saya rasa dia sudah tidak perduli dengan kedua anaknya, atau memang dia kesulitan mengurus dirinya dan pekerjaan yang di lakukan di Jakarta. Padahal kalau dia tidak menikah, anak-anak masih lebih banyak diurusnya daripada calon suami yang sekarang menjadi suami di Kota Bandung. Hem ... sepertinya dia seperti mesin cetak uang saja.
Saya juga tidak bisa menghakimi setiap orang. Kamu salah, bukan begitu jalannya. Bagaimana sih, kamu kok meninggalkan anak-anak? Banyak pertanyaan yang sampai sekarang belum bisa saya jawab.
Setiap orang berbeda jalan hidupnya. Itu baru cerita dari sisi perempuan. Belum dari sisi seorang lelaki. Memang kebanyakana seorang perempuan masih bisa menahan libiodnya dibanding lelaki. Ketika isteri sudah meninggal maka dengan cepat dia sudah bisa berganti pasangannya. Isteri baru maksudnya. Laki-laki tidak bisa hidup sendiri, karena memang sudah menjadi kebiasaan dari kecil sudah dipersiapkan, diatur cara mereka hdiup. Contohnya, sudah dipersiapkan masakannya, cucian bajunya. Sehingga ketika dia menikah, harus mendapatkan seorang isteri yang kompeten.
Kok saya merasa seorang laki-laki itu hanya membutuhkan seorang pembantu, baby sitter, tukang masak, bagian keuangan, administrasi, hem apalagi yaaa?!
Love, Audy
0 Comments:
Posting Komentar