Setiap tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini, hari bersejarah khususnya untuk para perempuan.
Menghilangkan kesenjangan antara para pria dan wanita.
Rasanya saya lebih suka memakai kata perempuan saja ya .... Entah kok rasanya lebih enak didengar. Kata wanita kok spertinya seperti orang terlalu tinggi buat saya.
Walaupun Kartini sudah lama meninggal dan meninggalkan warisan untuk para perempuan, tetapi masih saja ada para perempuan yang belum merasakan perjuangan beliau.
Nindi begitu gembira ketika hari yang ditunggu-tunggu telah tiba di depan mata. Beberapa hari lagi dia akan melangsungkan pernikahannya dengan Beni. Setelah lama berpacaran akhirnya, melangkah menuju pelaminan.
Tidak membayangkan ketika sehari sebelumnya, kabar buruk datang dalam kehidupannya. Beni yang telah lama bekerja, tiba-tiba dapat surat pemberhentian kerja. Rasanya terpukul! Tetapi kehidupan harus terus berjalan.
Peristiwa ini hanya keluarga Beni saja yang tahu, keluarga Nindi tidak ada yang tahu. Mereka sibuk mempersipakan hari besar anak mereka. Dan Nindi pun tidak mau menyusahkan keluarganya.
Pesta pernikahan berlangsung dengan semarak, tanpa ada sesuatu yang terjadi. Setelah pesta barulah kehidupan pernikahan yang sebennarnya terjadi.
Masa-masa bulan madu pun berlalu, kembali lah mereka ke realita. Beni sudah berusaha mencari pekerjaan tetapi belum ada yang mau menerimanya. Satu tahun, dua tahun, belum ada panggilan yang Beni terima. Nindi sebagai isterinya merasa sedih, walaupun semua pemasukan keluarga masih bisa dia handel tetapi dia merasa kalau Beni sebagai kepala keluarga tetap harus memberikan pemasukan.
Ada kekecewaan ketika melihat Beni yang hanya bisa duduk di atas sajadah saja. Rasanya Nindi cemburu dengan yang sering Beni ajak bicara di atas sajadah.
Ada rasa kesepian yang melanda Nindi, sehingga pikiran jelek pun sering datang di benaknya. Apakah akau perlu seorang yang lain yang bisa menghargai diriku?
***
Nindi tidak bisa menghargai apa yang sudah didapatkannya. Biarpun suaminya tidak ada pekerjaan ... yang meskipun nantinya dia dapatkan, dia harus bisa mengurus keluarganya dengan baik. Bukan hanya lelaki yang bisa menjadi kepala keluarga, dalam hal ini memberikan pemasukan, tetapi sebagai perempuan yang bisa memberikan pemasukan, dia juga bisa menjadi penolong dalam keluarganya.
Baca juga : Insecure Dalam Diri
Rasanya cerita ini bisa sebagai salah satu contoh apa yang Kartini kejar, kesetaraan. Dalam kehidupan rumah tangga sebisa mungkin ada kerjasama antara pria dan perempuan dalam mengarungi biduk rumah tangga. Benar kan? Saya sambil merenung apa yang saya tulis ini, presepsinya sama dengan yang lain?
Sekuatnya seorang perempuan, kadang memerlukan tangan kuat lainnya seorang laki-laki. Walaupun minta kesetaraan dalam hal lain, tetapi untuk raga, tetap seorang lelaki lebih kuat dari perempuan. Dalam kiata lain, sebetulnya seorang perempuan itu sebagai penolong. Setahu saya sebagai penolong, mustinya lebih kuat dari seorang laki-laki. Bukan dalam hal raga yaa. Ada beberapa yang bisa kita lihat, misalnya dalam pencapaian kinerja di kantor, seorang perempuan bisa mengalahkan kinerja lelaki.
Baca juga : Disiplinkan Diri Hai Kartini
Memasuki abad ke 20, masih ada saja yang belum mengerti perjuangan ibu Kartini, apalagi di daerah pelosok yang kurang terjamah oleh media sosial. Semua masih mengikuti tradisi yang ada, kalau perempuan itu hanya bisa mengurus rumah tangga saja.
Semoga dengan kemajuan zaman, semua perempuan akan menjadi lebih baik lagi dalam bertanggung jawab untuk dirinya masing-masing.
Love, Audy
0 Comments:
Posting Komentar