Memasuki bulan Ramadhan, semua jendela tertutup setengah, khususnya tempat makan yang biasanya ramai. Sehingga pengunjung yang sedang makan tidak menarik perhatian orang yang lewat.
Beruntung kalau tempat makan itu strategis, mempunyai pagar yang tinggi, sehingga tidak memerlukan horden untuk menutup jendelanya.
Saya pernah mendengar cerita dari Hubby, ketika dia sedang kerja lapangan. Pada saat itu bekerja di NGO* untuk Pemulihan Tsunami Aceh.
Lupa juga bagaimana dia dapat kerja disana. Sebelum berangkat ada ketakutan melanda di hati. Daerah yang akan didatangi sudah terkenal dengan banyaknya pembunuhan, juga larangan syariatnya keras. Memang sih, saya belum pernah kesana, inilah kekuatannya media sosial, hanya dengan membaca, mendengar menimbulkan ketakutan.
Memasuki bulan puasa, Hubby kesulitan mencari makan siang karena baru pertama kali berada di Aceh. Bukan yang mewah tetapi yang sederhana.
Ternyata ... memasuki hari kedua dan hari selanjutnya ... baru diketahui kalau tempat makan semua buka, penampilannya tertutup dengan kain, jadi sekelebatan tidak terlihat. Hal yang mengejutkan! Dalam tempat makan, banyak yang sedang bersantap.
Hubby bercerita, meskipun daerah itu terkenal dengan syariat Islam, tetapi banyak juga yang melanggar, asalkan tidak ketahuan oleh petugas* yang menangani pelanggaran syariat ini.
Itu baru dari pandangannya, belum dari saya. Hampir sama kejadian tersebut dengan pandangan mata saya, tidak hanya di Aceh, tetapi di daerah tempat tinggal saya sekarang juga begitu. Saya jadi berpikir, "Jadi siapakah yang berpuasa?"
Itu hal berpuasa, belum lagi penampakkan sejoli yang saling berpegangan tangan, atau berdekapan di atas motor. Saya jadi bingung! Bagaimana menurut Anda dengan pikiran saya? Jadi saya beranggapan bahwa tidak semua melakukan kegiatan puasa ini.
***
"Hayoo, cuci mata!" Terdengar suara beberapa rekan kerja, berseru di ruangan tempat Bram bekerja. Sedikit terkejut ketika suara itu menggema di ruangan yang sunyi.
Seorang perempuan dengan penampilan seksi memasukir ruangan. Selvi pacar Bram datang mengunjungi Bram. Memakai baju yang sedikit ketat, dan sedikit terbuka dibagian depan dada membuat mata semua lelaki seperti terbelalak. Bukan hanya lelaki, tetapi para perempuan merasa tersaingi dengan pemandangan yang menonjol di bagian depan itu.
Sudah sering diberitahu, kalau ke kantor tuh jangan berbaju seksi. Tetapi memang dari diri Selvi sendiri menginginkan perhatian lebih dari orang lain. Dia tahu kalau badannya yang seksi menarik perhatian orang lain.
Dia hanya ingin orang lain mengagumi penampilannya, tidak ada yang lain.
Apa memang semua perempuan ingin diperhatikan? Sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan memang ada rasa ingin diperhatikan lebih ... diperhatikan saja bukan yang lain. Rasanya ada kebanggaan ketika mendapat pujian.
Baca juga : Memilih Busana yang Tepat
"Ngapain kamu datang ke kantor?" tanya Bram, wajahnya sedikit mengkerut menahan marah. "Kan aku sudah bilang, tepon saja nanti aku turun ke bawah."
Selvi yang ditegur seperti itu hanya tersenyum saja, sambil mengelus lengan Bram untuk meredakan kemarahan. Dia tahu Bram hanya mengomel sedikit saja. Hubungan mereka yang sudah tiga tahun tidak bisa dianggap remeh. Karena masing-masing sudah tahu sifatnya. Dan Bram juga tahu, kalau Selvi tidak pernah macam-macam dalam pergaulannya. Karena memang cara berpakaiannya seperti itu. Ingin terlihat cantik di mata Bram.
"Hayo sudah ... sudah ... Lagi pada puasa kan! Jaga mata!" Teguran dari pak bos yang tiba-tiba keluar dari ruangan kerjanya, karena penasaran dengan kegaduhan yang terjadi.
***
Memasuki bulan Ramadhan tentu para perempuan harus lebih memperhatikan penampilannya. Bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk menjaga mata pria supaya mereka bisa menahan nafsu sehingga tidak terjerumus dalam dosa.
Melihat sekilas cerita itu, saya jadi teringat pada saat Hari Minggu, di dalam ruangan gereja ketika sedang mendengarkan kotbah pak pendeta, tiba-tiba ada yang terlambat masuk.
OMG, seorang perempuan dengan rok sedikit pendek dan baju tanpa lengan, berlenggang mencari kursi kosong. Dan ini lagi di tengah-tengah kotbah pak pendeta, membuat mata jemaat yang tertuju ke pak pendeta, otomatis mengalihkan mata ke arah perempuan yang baru datang.
Saya pikir dia akan mencari kursi di bagian belakang, karena sudah pastilah malu kalau berjalan ke arah depan dan menjadi perhatian seluruh jemaat. Ternyata ...oh ternyata! Dengan percaya diri dia berjalan menuju ke dapan mengambil kursi yang kosong.
"Lagi menuju surga ... tiba-tiba berbelok ke arah neraka ...," ungkapan yang ada di kepala saya tiba-tiba muncul. Bagaimana dengan pengkotbah yang berada di atas mimbar. Dengan ketinggian dia bisa melihat peristiwa yang terjadi. Apakah ada sekelebat pikiran teralihkan? Atau sudah biasa menghadapi hal seperti ini, dan tidak perduli, seperti ada kacamata kuda yang dipakainya.
Sebetulnya sudah ada beberapa kotbah, yang memberikan teguran, bagaimana jemaat harus berpakaian khusunya untuk jemaat perempuan. Dari gereja seperti GPIB, terang-terangan melarang para jemaat perempuan untuk berpakaian sopan. Memakai celana panjang jins tidak diperbolehkan. Jadi harus memakai celana berbahan kain. Saya pikir bagus juga ada larangan, jadi sudah menjadi standarisasi di gereja masing-masing, dan semua orang harus menurutinya.
Pernah mendapati hal seperti ini? Apa yang harus kita lakukan? Kalau kita kenal orangnya lebih baik ditegur. Kalaupun tidak nah ini yang dilema. Nanti dikira siapakah kita ini, berani menegur mereka. Kalau sudah begini bagaimana menurut Anda?
Love, Audy
Mohon maaf sebelumnya kalau yang ditulis ada yang kurang berkenan. Semua yang ditulis berasal dari kacamata penulis ketika mengalami situasi tersebut.
0 Comments:
Posting Komentar